Sifat Tawadhu' Nabi Muhammad
Habib Ali Zaenal Abidin Al Hamid - Sifat tawadhu’ dan sailng kasih mengasihi dengan yang lain mesti ada pada orang beriman adalah . Allah berfirman dalam Surat Al Fath: 29 “Muhammad Rasulullah, dan
orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang kafir, kasih mengasihi satu
dengan yang lain (orang beriman).” Tegas kepada orang kafir, maksudnya
merasa mulia di hadapan orang kafir. Sedangkan kepada sesama orang beriman
merasa merendah / tawadhu’. Realitanya sekarang kita merasa rendah dihadapan
orang kafir. Baik dengan teknologinya, kemajuannya, apa saja sehingga kita masuk
ke negara mereka merasa takut. Kita sudah merasa hina dihadapan orang kafir.
Sehingga Allah hinakan kita karena kita merasa hina didepan orang yang dihinakan Allah.
Kenapa kita merasa hina dihadapan orang kafir? Adakah karena keduniaan menyebabkan kita dihadapan mereka?
Bukankah dalam Al Qur’an Allah berfirman bahwa “orang yang beriman punya tuhan,
orang-orang kafir tidak punya tuhan.”
Mana yang lebih mulia orang bertuhan / orang yang tidak bertuhan?
Bilamana kita merasa hina dihadapan orang kafir, maka kita akan merasa mulia
dihadapan orang beriman (orang islam). Kalau kita tidak mengasihi sesama kita,
kita akan mengasihi orang yang tiak beriman.
Dalam hal ini Allah sudah sebutkan sifat orang beriman “Saling kasih
mengasihi dan saling merendah satu dengan
yang lain.” Bagaimana kita saling kasih mengasihi? Suka bilamana kebaikan
menimpa orang beriman, sebagaimana kita suka apabila perkara baik itu menimpa
pada kita. Apa pengertian tawadhu? Kita tidak merasa lebih mulia dari orang
lain, walaupun orang tersebut dipandang masyarakat sebagai orang yang tidak
bernilai, tapi kita tidak boleh menilai diri kita lebih mulia dari orang lain
(orang beriman), itulah arti tawadhu.
Dalam suatu riwayat, ketika Nabi berkhotbah, tiba-tiba ada seorang yang
bagkit dan kemudian ia bertanya “Ya Rasulullah seseorang yang tidak tahu hal
ihwal agama datang kepada engkau untuk bertanya tentang soal agama.” Mendengar dan melihat kejadian
itu, Nabi pun turun dan menghentikan khotbahnya untuk melayani orang tersebut
secara pribadi. Hal ini memiliki beberapa faedah ilmu, diantaranya:
1. Menjawab pertanyaan bila tahu
Orang yang berilmu dan tahu jawaban suatu pertanyaan, jangan
menunda-nunda dalam memberikan jawaban, lebih-lebih tentang agama. Tak ada yang
lebih penting daripada soal agama, kecuali kita sedang dalam urusan agama yang
lebih penting dari soal agama itu. Disini termasuk tidak menunda memberi
jawaban kepada orang yang ingin masuk islam. Jangan katakan “Esok saja tunggu
ustad fulan, biar diislamkan sama ustad fulan” Kalau panjang umur sampai esok,
kalau malam ini Izrail datang? Jangan menunda kebaikan... suruh ucap syahadad
dulu, esok diulangi lagi tak apa-apa.
2. Sifat Tawadhu’
Nabi SAW tidak menegur kepada orang tersebut karena memotong khotbah
nabi. Nabi tidak mengatakan “Kau tak tau kah aku sedang sibuk khotbah! Tak ada
waktu lain kah untuk tanya?” Akan tetapi Nabi turun dan menghampiri. Supaya
apa? Ya alim, ya ustad, ya syekh, ya siapa saja yang punya ilmu... jangan
tergores perasaanmu dengan menilai orang lain tak sopan bertanya bilamana anda tengah
sibuk mengajar lalu dipotong pembicaraanmu. Orang yang lebih baik dari kita mau
turun untuk menjawab pertanyaan 1 orang. Ini tawadhu’ Nabi Muhammad SAW
Rasulullah SAW bersabda “Jika jatuh suapan orang hendaklah diambil dan
bersihkan kotorannya, kemudian hendaklah dimakannya dan jangan dibiarkan
dimakan setan.” Beliau juga menyuruh untuk menghabiskan makianan yang ada di
piring dengan sabdanya “Kamu tidak tahu dimana makanan yang ada berkat”
Sikap tawadhu tidak hanya pada manusia saja, tapi juga tawadhu’ dengan
makanan, yakni menghargai makanan tersebut. Nabi SAW makan dengan 3 jari (ibu
jari, telunjuk, jari tengah). Beliau membersihkan makanan mulai dari jari
tengah – telunjuk - ibu jari. Tujuannya adalah;
1. Tidak ingin memubazirkan makanan. Nabi tidak pernah membuang makanannya
2. Menghargai rizki dari Allah. Nabi selalu menghabiskan makananya walaupun hanya 1 butir nasi
3. Keberkatan makanan. Mungkin di sisa nasi itu ada rizki yang diberikan oleh Allah yang kita
tak tahu dimana Allah letakkan keberkatan pada makanan. Bisa saja Allah
letakkan keberkatan pada nasi yang menempel di tangan, yang bila kita cuci maka
hilanglah keberkatan itu dan akan menjadi santapan setan, sehingga setan gemuk
akan mengganggu kita, istri, anak kita, dikarenakan kita membuang makanan.
Sampai dalam hadits ini dikatakan kalau jatuh disuruh ambil kemudian
dibersihkan dan dimakan. Mungkin orang akan melihat “O... kotorlah itu, macam
tak ada nasi di rumahnya” Kalau ingin ikut Nabi ya ambil – bersihkan – makan,
kalau ingin ikut apa kata orang ya buang. Kecuali kalau memang sudah tak bisa
lagi dibersihkan dan bercampur banyak kotoran boleh dibuang.
Itulah sifat tawadhu’ rasulullah yang patut kita tiru. Semoga kita bisa
mempraktekkannya walaupun tidak semua akan tetapi meniru sedikit demi sedikit.
Amin...
Sumber:
Habib Ali Zaenal Abidin Al Hamid
Darul Murtadza
Membaca ini, buat ku menangis: Meniru 100 Akhlaq Keutamaan Rasulullah SAW
ReplyDeletePico de Solingen - Titanium Tube | TITNIA ART | TITNIA
ReplyDeletePico de Solingen. garmin fenix 6x pro solar titanium The Titanium titanium (iv) oxide is a high-quality graphite pipe titanium tools and an ideal replacement for heavy titanium flashlight duty safety razors. The top notch graphite titanium post earrings