Mengendalikan Hawa Nafsu

hawa nafsu menurut islam

Dari Abu Hurairoh R.hum, dari Rasulullah bersabda “Allah tidaklah mengutus seorang nabi melainkan ia mengembala kambing.” Para sahabatnya bertanya “Dan tuan?” Beliau menjawab ”Ya, aku dulu juga mengembala kambing dengan mendapat upah dari penduduk mekkah.” (HR. Bukhori)

Sayyidina Ali pernah berkata perumpamaan saya dan hawa nafsunya umpama pengembala kambing. Pengembala kambing diuji kesabaranya, karena dia harus cari tempat yang subur, mencari air untuk minumnya, menjaga keselamatam kambing-kambing. Kenapa diumpamakan kambing, kenapa bukan lembu dan unta? Karena lembu dan unta lebih mudah diatur, lebih kuat daripada kambing. Oleh karena itu setiap nabi pasti diutus dengan mengembala kambing untuk melatih hawa nafsunya guna melatih menghadapi sifat manusia yang kadang jahat. Hadits tersebut juga mencontohkan supaya seseorang memiliki sifat tawadhu’.  Sifat tawadhu’ dapat diraih dengan melatih hawa nafsunya, karena seseorang yang tawadhu akan mampu mengontrol egonya.’

Dari Abu Hurairah R.hum, dari Nabi Muhammad SAW  bersabda “Seandainya aku diundang untuk makan betis / paha binatang, niscaya aku memenuhinya, dan seandainya dihadiahkan kepadaku betis / paha binatang,niscaya aku akan menerimanya.” (HR. Bukhori)

Hadits ini mengajarkan pada kita untuk menerima segala hadiah yang diberikan walaupun hadiah itu murah dan tak bernilai. Memfokuskan hubungan baik dengan yang memberi hadiah lebih baik daripada memfokuskan quality hadiahnya.  Seseorang yang hanya menilai besar nilai hadiah yang diberikan, maka ia mengukur dirinya dengan kebendaan dan segala sesuatu akan ia nilai dengan kebendaan. Kalau hadiahnya banyak ia anggap orangnya baik dan dermawan. Kalau hadiahnya tak bernilai ia anggap dia orang yang kedekut (pelit / kikir).

Nabi bilamana diundang tidak memandang apa hidangannya, akan tetapi beliau lebih melihat undangan itu atas dasar apa, yakni menjalin hubungan sesame orang islam. Sebab salah 1 dari 5 hak orang islam dengan orang islam yang lain adalah menghadiri undangan. Beliau juga tetap menerima hadiah walaupun hadiahnya terlalu biasa. Intinya jadikan perhubungan kita dengan orang lain lebih melihat pada menjalin hubungan  baik seperti yang digariskan oleh Allah, bukan dengan melihat siapa orangnya, apa hidangannya, apa jawatan dia. Kalau kita menilai seseorang dengan kebendaan, maka kita seperti menempelkan harga di dahi kita “Ini harga aku.”


Dari Anas R.hum berkata “Unta Rasulullah yang koyak telinganya itu tidak pernah terdahului / hampir tidak dapat dikejar. Kemudian ada seorang badui yang mengendarai untanya dan dapat mendahului unta beliau, maka hal yang demikian itu cukup menggelisahkan kaum muslimin dan hal itu diketahui oleh rasulullah. Maka beliau bersabda “Kebenaran atas Allah, bahwasanya tiada sesuatu pun di dunia ini yang menyombongkan diri melainkan Allah merendahkannya.”” (HR. Bukhori)

Hadits ini mengajak kita untuk berfikir atas apa saja yang kita lihat. Melihat unta yang dulunya tak bisa dikalahkan kemudian dikalahkan, Nabi melihat dengan pandangan yang jauh, supaya kita menyikapi apa saja yang kita lihat dengan mengembalikan semuanya kepada Allah. Bilamana kita melihat kemesraan, kita melihat “Ooo… mesranya.” Jangan lihat mesranya, lihatlah Allah Maha meletakkan kasih sayang kepada orang tersebut. Bilamana melihat pergaduhan, Allah ingin menunjukkan bahayanya hawa nafsu. Kita belajar melalui  kenyataan yang kita lihat. Nabi mengajarkan melalui unta yang dikalahkan supaya kaum muslimin mencari hikmah atas apa yang terjadi. Nabi melihat kaum muslimin yang sedih melihat unta beliau dikalahkan, beliau mengatakan “Tiada sesuatu pun di dunia ini yang menyombongkan diri melainkan Allah merendahkannya.” Akan tetapi bila seseorang diangkat oleh Allah, maka tak ada yang mampu menjatuhkan. Semuanya ada dalam genggaman Allah SWT.

Sumber:
Habib Ali Zaenal Abidin Al Hamid
Darul Murtadza

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengendalikan Hawa Nafsu"

Post a Comment