Adab Seorang Murid Kepada Guru

“Jika engkau seorang murid, maka adab yang harus dimiliki oleh seorang murid terhadap gurunya adalah mendahuluinya dalam memberi hormat dan salam”

Siapakah yang lebih mulia antara yang orang memberi salam / yang menjawab salam? Yang mulia adalah orang yang memberi salam, sebab orang yang memberi salam menyebabkan orang yang menjawab salam mendapat ganjaran. Baginda Nabi Muhmmad SAW tidak bertemu seseorang melainkan beliaulah yang mulai dulu memberi salam, sebab beliau ingin mendapatkan yang afdhol. Tetapi dalam mengajar murid, adalah muridlah yang memulai dengan salam. Kenapa bukan gurunya supaya gurunya dapat ganjaran lebih? Ya memang yang mulai salam terlebih dahulu dapat ganjaran lebih, tapi dalam ta’lim di dalam mengajarkan kepada orang lain adalah dibenarkan / diajarkan supaya murid tersebut belajar sopan santun kepada gurunya dengan dia memulai salam.

“Jangan banyak berbicara di hadapannya, tidak mengatakan apa yang tak ditanya oleh gurunya, tidak bertanya sebelum diberi izin”

Boleh berbicara, tapi percakapan kepada guru harus melihat nilai dari percakapan itu. Kalau dalam bertanya adalah boleh, sebab “Kunci dari ilmu adalah soal / bertanya”. Peluang bilamana ada guru adalah untuk bertanya. Hanya saja, jangan dihujani dengan pertanyaan-pertanyaan, sebab banyaknya pertanyaan akan mengganggu kenyamanan guru, sesekali waktu saja. Kalaupun harus diselesaikan saat itu juga, tanya dulu pada guru “Bolehkah saya ini ada banyak pertanyaan?”

“Tidak mengungkapkan sesuatu yang bertentangan dengan ucapannya, misalnya dengan ber- kata, “Pendapat si fulan berbeda dengan dengan ucapanmu”

Usahakan dalam bertanya itu tidak menyebutkan nama orang yang pandangan / jawabannya bertentangan dengan gurunya, sebab wajar antara guru 1 dengan yang lain wajar ada perbedaan yang bilamana disebutkan nama guru yang memiliki pandangan yang berbeda maka tidak menempati adab. Bilamana ingin menyampaikan soal maka teruslah bertanya pada point soalnya.

Tidak menunjuk sesuatu yang berseberangan dengan pendapatnya sehingga terlihat ia lebih tahu tentang yang benar daripada gurunya”

Yakni jangan berdebat dengan guru. “Eh macam mana... takkan kita terima bulat-bulat perkataan guru?” Terkadang ada perbedaan pendapat antara guru dan murid, tapi yang salah adalah menyalahkan guru tanpa mengedepankan apa yang dipandang guru, hendaknya dia memperhatikan apa yang dipandang oleh guru, bukan untuk berdebat. Ya memang betul, terkadang guru mendapat ilmu dari muridnya. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Terkadang pembawa ilmu fiqh disamapikan kepada orang yang lebih faqih (pandai). Terkadang orang yang disampaikan lebih paham daripada yang menyampaikan” Tetapi menyalahkan kepada guru tanpa mengedepankan hujjahnya adalah menyalahi adab kepada guru

“Tidak bertanya kepada teman duduk gurunya dalam majelisnya, tidak menoleh ke sekitarnya, melainkan ia harus duduk dengan menundukkan pandangan disertai sikap tenang dan etika sebagaimana ketika menunaikan salat”

Di zaman Rasulullah SAW, para sahabat kalau belajar dengan Rasulullah seakan-akan dikepala mereka ada burung, khusyu’ tak bergerak seperti batu, sehingga burung tak tahu kalau itu kepala orang. Imam As Syafi’I mengatakan: “Saya segan untuk membuka lembaran-lembaran kertas di hadapan Imam Malik karena saya khawatir suara ketika aku membuka lembara-lembaran itu memngganggu Imam Malik” Kita lihat sekolah-sekolah zaman kita sekarang, guru bercakap muridpun bercakp juga. Kita ini kekurangan guru murobbi, sehingga murid-murid yang dididik tidak mendapat tarbiyah yang sesungguhnya. Moga-moga Allah SWT lahirkan banyak lagi guru-guru yang mendidik jiwa dan hati. Amin...

Jika guru berdiri maka sang murid juga harus berdiri untuknya

Apakah hukum berdiri menyambut orang yang dimuliakan Allah SWT ? Orang lain yang berdiri karena kedatangannya, maka orang itu tidak boleh menuntut orang lain untuk berdiri. Orang yang mulia / siapapun bilamana ada orang berdiri karenanya maka dia tak boleh merasa dirinya memang layak untuk orang lain berdiri, yang mana dia akan marah bila orang lain tak berdiri. Seperti Nabi SAW melarang para sahabat berdiri karena kedatangan beliau, ini adalah bentuk ketawadhu’an beliau.

Adapun berdiri menghormati orang lain karena kedudukan orang itu di sisi Allah (bukan dalam hal keduniaan) maka adalah perkara yang disyari’atkan dan disunnahkan. Seperti Rasulullah SAW yang menyuruh para sahabat untuk berdiri menghormati kedatangan Sa’ad Ibn Muadz karena kedudukan Sa’ad yang begitu mulia di sisi Allah. Berbeda dengan berdiri menghormati seseorang karena dia menginginkan keduniaan / materi maka ini tidak disunnahkan dan tidak adab karena dia hanya inginkan kebendaan orang itu saja.

Sehingga hukum berdiri bukan suatu suruhan / larangan. Ia adalah bergantung pada keadaan masing-masing. Orang yang berdiri karena kedudukan dia di sisi Allah adalah perkarayang dibolehkan. Orang lain yang berdiri karenanya hendaklah dia merasa tawadhu’ sehingga merasa dirinya tak layak untuk orang lain berdiri kepadanya kalau dia datang, orang lain berdiri / tak berdiripun tak berubah perasaannya karena dirinya merasa tidak layak. Kalau Rasulullah SAW saja larang orang lain berdiri, maka selain Rasulullah lebih patut memiliki sifat demikian, yakni tawadhu’. Jadi mana yang lebih baik ? berdiri / tak berdiri ? Kalau tujuannya berdiri untuk menghormati kedudukandia disisi Allah maka diganjar pahala oleh Allah. Tapi kalau untuk kepentingan keduniaan maka tak diganjar.

“Tidak diikuti dengan pembicaraan dan pertanyaan, tidak bertanya kepadanya dalam perjalanan menuju rumah

Bila majelis dah akan diakhiri, dan gurunya ingin bangun dari tempat duduknya, jangan kita “Ustadz saya ingin bertanya ustadz...” Bukan tak boleh tanya, tapi waktu untuk tanya yang tak tepat, kecuali kalau guru membuka pertanyaan. Kemudian bila guru sudah pergi menuju mobilnya, motornya maka jangan bertanya, kecuali sudah sampai tempat tujuan. Intinya bilamana dalam perjalanan jangan tanya

Tidak berburuk sangka pada perbuatan-perbuatan yang secara lahiriah tidak bisa diterima, karena ia lebih mengetahui rahasia dibalik itu semua. Sehubungan dengan hal itu perhatikan pertanyaan Musa a.s kepada Nabi Khidir a.s, “apakah engkau sengaja melubangi perahu itu untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh kamu telah melakukan kesalahan yang besar” (Q.S al-Kahfi: 71) ia salah dalam menyikapi perbuatan Nabi Khidir a.s. karena bersandar pada apa yang tampak secara lahir”

Ini bicara tentang seorang ghuru yang sifatnya memang betul-betul seorang guru dan mantap ilmunya, yang setiap perbuatan dan bila kita pandang wajahnya akan mengingatkan kita kepada Allah SWT. Guru-guru yang seperti ini perbuatannya memiliki hikmah. Kita ini semua pelajar yang ingin punya guru seperti itu. Berlakunya perbedaan Nabi Khidir dan Nabi Musa bermula dari apa yang dipahami Nabi Musa berbeda dengan apa yang dimaksud Nabi Khidir, yang secara dzahir menurut Nabi Musa tindakan Nabi Khidir tak betul, yang kemudian Nabi Musa menegur Nabi Khidir. Bilamana seorang murid melihat perkara-perkara yang secara dzahir berlawanan dengan ilmu yang ada pada guru*) Murid melihat perkara yang menurut ilmu yang ia miliki, perbuatan guru itu salah, seperti perbuatan Nabi Khidir yang salah menurut ilmu Nabi Musa tapi tidak salah menurut ilmu Nabi Khidir. Bukankah akhirnya terungkap rahasia disebalik perbuatan Nabi Khidir yang ditegur Nabi Musa. Maka dari itu jangan menghukum guru salah, sebelum mendapatkan penjelasan dari guru

*) Maksudnya bukan berlawanan dengan syara’, kalau berlawanan dengan syara’ langsung tinggalkan saja guru itu, seperti guru minum arak, kemudian si murid mengatakan “Tak apa itu bukan arak, itu sirup. Yang seperti ini adalah keterlaluan

(Habib Ali Zaenal Abidin Al Hamid – Darul Murtadza)


Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Adab Seorang Murid Kepada Guru"