Mengasuh Anak Yatim
وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي
جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ
لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٥
5. Dan janganlah kamu
serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada
dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik
Ayat ini menyuruh orang yang
mengurus / bertanggung jawab kepada orang yang tidak waras / gila / karena
ketidak mampuan orang tersebut dalam mengelola uang walaupun tidak gila. Uang /
hartanya ini mungkin warisan dari kedua orang tuanya yang sudah wafat. Bagian
dari orang yang belum sempurna akalnya (safih) adalah anak yatim / anak-anak
yang tidak yatim. Sehingga dalam hal ini mereka tidak boleh diberikan uang
dalam jumlah yang banyak sementara dia tidak mampu mengelolanya meskipun dia
berhak atas uang itu.
Allah SWT menamakan harta
anak yang diasuh itu dengan ‘hartamu’ yakni dinisbahkan kepada harta orang yang
menjaga. Bukankah itu harta anak tadi? Ya, akan tetapi Allah mengatakan “Wahai
penjaga, harta yang menjadi milik orang yang kau jaga Ku namakan seakan akan
itu milik engkau supaya menjaga harta itu sepertimana engkau menjaga hartamu
sendiri.” Sebab bilamana kita punya uang maka kita akan gunakan uang itu dengan
benar dan hati-hati, kalau bukan uangnya maka ia tak peduli. Oleh karena itu
Allah amanahkan harta para sufaha kepada penjaganya supaya dia
bertanggung jawab dan hat-hati seperti dia mengelola hartanya sendiri.
Larangan Allah memberikan
uang pada sufaha artinya bukan bermakna penjaga sama sekali tidak
membagi uang padanya, akan tetapi berikan secukupnya untuk kebutuhan hidupnya
agar tidak dimubazirkan. Kemudian Allah perintahkan untuk memberikan mereka
pakaian. Wahai penjaga para sufaha, jangan kamu berikan mereka pakaian
yang ala kadarnya. Walaupun mungkin mereka lemah akalnya, jangan kamu hina.
Berikan mereka pakaian yang layak, bukan mesti pakaian yang mahal. Pakaikan
dengan pakaian yang rapi, sesungguhnya kamu bertanggung jawab kepadanya.
Bukankah bilamana ada orang-orang yang tak waras / tak normal adalah tanggung
jawab bagi yang waras? Bagi rezeki padanya, makan seperti yang kamu makan,
pakaikan dengan pakaikan yang layak. Jangan kita pakai piring yang bagus, dia
piring yang kotor. Kita makan makanan sedap, dia kita bagi makanan ala
kadarnya. Tak begitu... apa dosa orang itu sehingga kita memuliakan diri
sendiri dibandingkan orang itu? Allah jadikan mereka begitu supaya kita
mensyukuri nikmat akal yang waras yang diberikan Allah SWT.
Selanjutnya Allah katakan“ucapkanlah
kepada mereka kata-kata yang baik” Jangan kamu lihat sikapnya yang seperti
itu, yang mungkin terlihat aneh... jangan kamu caci, jangan kamu maki, jangan
kamu usir, jangan kamu marah. Sepatutnya kamu jadikan dia sebagai ujian
kepadamu dari Allah. Terkadang seseorang dianugerahi anak cacat. Ini juga
bagian dari ujian dari Allah. Untuk tidak menyesalinya, Allah turunkan surat /
ayat khusus untukmenghadapi orang seperti itu. Ambillah pahala yang tidak bisa
didapatkan orang lain dengan mengasuh dan menjaga mereka dengan baik. Ini juga
bukan kepadea ibu bapaknya saja, tapi bilamana ada orang cacat maka itu
tanggung jawab semua masyarakat.
وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰ
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدٗا
فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافٗا
وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ وَمَن كَانَ غَنِيّٗا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ
فَقِيرٗا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ
أَمۡوَٰلَهُمۡ فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبٗا ٦
6. Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin,
maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian itu)
Allah SWT menyuruh kepada waliul
amri (penjaga / yayasan / rumah anak yatim) untuk menguji anak yatim. Anak
yatim disini spesific kepada anak yang mendapat warisan dari orang tuanya. Tapi
karena masih kecil maka waliul amri diberi tanggung jawab. Tanggung
jawabnya selain makan, pakaian, sekolah adalah waliul amri mesti
mempersiapkan anak yatim itu sampai pada peringkat dia mampu mengelola harta /
uangnya sendiri. Oleh karena itu waliul amri harus mempersiapkan anak
yatim itu sejak dini, mungkin uang tersebut di investasikan dalam bentuk
bisnis. Sehingga ketika dia baligh maka dia diuji apakah mampu mengelola
uangnya sendiri / tidak. Usia baligh dalam madzab Imam Syafi’i adalah usia 15 tahun
baik laki-laki / perempuan
Bilamana saat baligh
didapati dia berhasil saat diuji, maka waliul amri mesti menyerahkan
harta anak yatim tersebut. Waliul amri dilarang melambat-lambatkan
menyimpan harta anak yatim disaat anak itu mampu mengelola hartanya sendiri.
Sebagian waliul amri yang mana dia tahu akan mengembalikan harta itu
pada anak yatimnya mengatakan “sebelum anak ini baligh, lebih baik kita
habiskan” Bukan dengan dasar dia menjaga anak yatim, maka dia boleh sewenang
wenang menggunakannya.
“Janganlah kamu makan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa” Tapi bilamana dia fakir,
boleh dia makan anak yatim dengan sederhana / normal. Dalam hal ini yang
mengasuh anak yatim tidak harus orang kaya, orang miskin juga boleh. Bahkan
yang miskin boleh mengambil harta anak yatim tersebut sebagai gaji sesuai
kadarnya walaupun harta anak yatim yang mungkin di bisniskan itu menghasilkan
banyak uang, tetap ambil gaji sekadarnya. Bagi yang kaya lebih baik dia tidak
ikut makan harta anak yatim.
Bilamana tiba saat
menyerahkan harta anak yatim, maka datangkan saksi-saksi untuk menyaksikan
penyerahan hart disertai dokumen-dokumen, surat-surat / cek agar tak ada salah
paham antara anak yatim tersebut dengan penjaganya. Sebenarnya tanpa saksi pu
tetap boleh, akan tetapi karena kita tertakluk dengan hukum manusia, yang kerap
sekali terjadi perselisihan maka mendatangkan saksi-saksi adalah sesuatu yang
penting
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ
مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا
تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبٗا
مَّفۡرُوضٗا ٧
7. Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan
Peruntukkan bagi laki-laki
dan perempuan telah ditetapkan oleh Allah persentase nya. Dalam hal ini telah
diatur dalam ilmu faro’id (ilmu yang membahas bab warisan)
وَإِذَا حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ
أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينُ فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ
وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٨
8. Dan
apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik
Wahai ahli waris, berikan rezeki
pada selain ahli waris (sebagai saksi, orang miskin / sebagai apapun) yang
hadir saat pembagian, supaya mereka tidak merasa tidak puas hati dan hanya
menyaksikan pembagian saja. Beri mereka walaupun sedikit. Memberi rezeki pada
mereka bukan merupakan kewajiban tapi untuk menjaga perasaan mereka. “Dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik” Jangan katakan pada mereka
“Ah, ini durian runtuh ... kamu datang saja dapat duit. Ini duit bapak aku
tau!” Tak boleh berkata begitu, katakan “Semoga Allah memberkati kamu, semoga
Allah memberkati keluarga dan harta kamu” Ini adalah perintah dari Allah kepada
ahli waris.
وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ
تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ
فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩
9. Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang benar
Larangan ini ditujukan pada
orang-orang yang berharta. Ketika mereka dalam keadaan sakit, dan sakitnya ini
sakit parah dan dirinya masih dalam keadaan sadar, dirinya mengingati
perbuatannya selama dia hidup yang hanya digunakan untuk menikmati kehidupan
dunia saja, saat itu dia sadar akan terpisah dengan dunia, ingat akan apa yang
akan dia hadapi di alam barzakh yang disana memerlukan amal baik, hari ini
sudah tak bisa melakukan amal baik karena sudah sakit parah, apa yang dia buat?
“Aku bagi semua harta aku ke rumah anak yatim” Tak boleh... Kononya ingin dapatkan
pahala. Bilamana seseorang menuliskan wasiatnya dengan membagikan hartanya
kepada orang lain, mkaka tida dibenarkan secara syar’I kecuali 1/3 saja.
Dahulu Rasulullah datang kepada Sa’ad bin Abi Waqash yang sedang dalam keadaaan sakit. Dia ingin mensedekahkan 2/3 hartanya kepada orang lain sebab dia tak punya ahli waris kecuali anak perempuannya saja. Beliau SAW mengatakan: “Tak boleh”, lalu Sa’ad mengatakan: “1/3” Nabi SAW mengatakan: “1/3 itu pun sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli waris kamu dalam keadaan berkecukupan harta lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dengan menjadi beban dengan meminta-minta kepada orang lain”
إِنَّ ٱلَّذِينَ
يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ
نَارٗاۖ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ١٠
10.
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)
Nanti di akhirat kalau kamu melihat seseorang di
dalamnya ada api / keluar asap dari mulutnya karena api dalam perutnya, maka
ketahuilah dia adalah orang yang di dunia memakan harta anak yatim
(Habib Ali Zaenal Abidn Al Hamid – Darul
Murtadza)
0 Response to "Mengasuh Anak Yatim"
Post a Comment