Adab Seorang Guru / Syeikh
“Jika engkau seorang alim, maka adab yang kau harus kau perhatikan adalah sabar, selalu santun, duduk dengan wibawa disertai kepala yang tunduk, tidak takabur terhadap semua hamba kecuali pada mereka yang lalim dengan tujuan menghapus kelalimannya. Bersikap tawadu dalam setiap majelis dan pertemuan, tidak bersenda gurau, menyayangi murid, berhati-hati terhadap orang yang sombong, memperbaiki murid dengan cara yang baik dan tidak marah”
Guru itu Lemah lembut kepada murid, dan sabar kepada murid yang agak slow pemikirannya, sebab guru umpama dokter yang mengobati pasiennya. Suatu hari Nabi Muhammad SAW sholat menjadi imam, di tengah-tengah sholat ada orang bersin. DIsitu ada badui yang juga sholat dan berkata: “Yarkamukallah...” maksud badui itu menyuruh jamaah yang lain untuk menjawab orang yang bersin tadi. Para sahabat yang juga sedang sholat pun geram dan melirik badui itu karena ia berbicara dalam sholat. Kemudian badui merasa dilihat oleh para sahabat, dia berkata “Eh kamu lihat-lihat aku kenapa?” Para sahabat sudah tak sabar, akhirnya mereka menepuk paha mereka masing-masing. Selesai sholat badui itu paham kalau para sahabat geram dengannya, hanya saja merekatahu bahwa dalam sholat tak boleh berbicara, oleh karena itu para sahabat menepuk pahanya. Kemudian Nabi Muhammad SAW setelah salam bertanya: “Siapa tadi yang bicara?” kemudian badui itu mengangkat tangan, lalu Nabi Muhammad bersabda: “Ini sholat tak boleh ada apa-apa kecuali takbir, membaca al qur’an dan berdzikir kepada allah” Beliau tak menghardik, tak memaki kepada badui itu.
Perbuatan yang salah oleh murid itu jangan kita
memandangnya dengan pandangan merendahkan karena dia berbuat salah. Benda yang
salah itu dibetulkan, kalau orang salah dimaki dia akan berbuat lebih salah
lagi. Tidak digunakan kelembutan pada kekasaran melainkan kelembutan pasti
menang. Tidak digunakan kekasaran pada sesuatu kecuali pasti mendatangkan
keburukan. Konsep kaidah yang ditetapkan Nabi Muhammad SAW, lembut bilamana
digunakan pasti berkesan, kurang-kurang tidak mendatangkan mudharat. Tapi
kekasaran walaupun tujuannya baik, pasti mendatangkan akan kemudharatan
Nabi Muhammad itu mendidiknya tidak menunjukkan
membedakan muridnya, beliau memandang dengan pandangan yang sama. Dalam
beberapa riwayat ada seorang sahabat Nabi SAW mengatakan: “Dalam majelis ini
Rasulullah kalau mengajar perhatianya adalah memandang satu per satu, sehingga
masing-masing dari mereka merasa bahwa dirinya paling banyak diberi perhatian
oleh Rasulullah” Yakni para shabat berbunga-bunga hatinya karena “Wuuu... Nabi
konsen kepada aku” Bahkan Nabi SAW amat konsen bilamana ada sesiapa dari
sahabat yang tidak hadir beliau tanya: “Fulan kemana?” beliau juga ingat nama
masing-masing, itu sebagai tanda bahwa beliau sangat memperhatikan kepada sesiapa
yang hadir. Suatu hari ada sahabat yang biasa membawa anaknya tak hadir
majelis. Nabi SAW bertanya: “Kemana dia?’ Dijawab oleh sahabat: “Ya Rasulullah
anaknya meninggal dunia” kata Nabi: “Ayo kita pergi kesana” Beliaupun datang ke
rumah sahabat tersebut selain untuk takziah tapi juga menghibur agar dia
kembali hadir majelis. Beliau berkata pada sahabat itu: “Kamu ingin anakmu
dihidupkan semula dan besar bersama dengan kamu / kamu mau anakmu menunggu kamu
nanti untuk membingmu ke surga?” kata sahbat itu: “Ya Rasulullah... aku ridho
dan aku mau anakku tunggu aku nanti untuk bimbing aku disurga” Besoknya sahabat
ini hadir kembali ke majelis. Inilah sifat seorang guru
“Membimbing murid yang bebal, memperbaiki
murid dengan cara yang baik dan tidak marah”
Ini yang perlu kesabaran lebih, terkadang pemahaman
murid 1 dengan yang lain berbeda. Disini khususnya guru yang ada di madrsah,
sekolah / university. Guru tugasnya bukan hanya sampaikan curriculum saja.
Reality zaman sekarang orang faham tak faham yang penting curriculum
disampaikan, kalau tak faham ya salah kamu. Tapi zaman dulu tak begitu,
diperhatikan betul murid itu. Kalau ada yang tak paham diberikan extra class,
gurunya berkorban waktu supaya murid faham. Tapi sekarang? berapa saya dibayar
ya itu yang saya kerjakan, dia dah mulai berhitung tanpa memperhatikan quality
dan tanggung jawabnya sebagai penerus Rasulullah, yang mana orang yang mengajar
memiliki warisan kesamaan tugas dengan Rasulullah. Menghadapi murid yang bebal
juga merupakan ujian kesabaran kepada guru, walaupun memang susah menghadapi
semacam itu.
“Tidak malu untuk mengaku tidak tahu,
memperhatikan pertanyaan si penanya dan berusaha memahami pertanyaannya”
Seorang guru bukanlah mufti kepada dunia, yakni apa
saja ditanya dijawab saja. Suatu hari Imam Malik didatangi rombongan dari
Marocco dengan membawa 10 pertanyaan. Kemudian Imam Malik hanya menjawab 1
saja, yang 9 beliau jawab tak tahu. Salah seorang dari rombongan berkata: “Kami
datang dari negeri yang jauh untuk tanya 10 pertanyaan yang kamu jawab 1 saja.
Bagaimana harus saya katakan pada orang-orang di Marocco sana?” Dijawab oleh
Imam Malik: “Beritahu saja pada mereka disana bahwa Imam Malik tak tahu”
Selesai masalah... Tapi kita ini merasa malu berkata tak tahu dan berpura-pura
menajwab yang mana itu menjadi fatwa bagi yang bertanya dan bilamana salah maka
dia bertanggung jawab kepada allah dan bertanggung jawab kepada fatwa yang
sudah disebarkan,diamalkan oleh banyak orang. 1 fatwa saja yang dikeluarkan
kalau salah bisa merusakkan sekian banyak umat. Makanya hati-hatilah dalam
berfatwa, zaman kita kita sekarang fatwa bisa melalui sms. Oleh karena itu
orang yang alim tidak segan untuk mengatakan tidak tahu. Kemudian perhatikan
bilamana ada murid bertanya, pandanglah dia, jangan mengalihkan pandangan
“Mau menerima hujah dan mengikuti yang benar
dengan kembali kepadanya manakala ia salah. Melarang
murid mempelajari ilmu yang berbahaya dan mengingatkannya agar tidak menuntut
ilmu untuk selain rida Allah Swt, melarang murid sibuk dengan hal-hal yang
bersifat fardu kifayah sebelum menyelesaikan yang fardu ain (yang termasuk
fardu ain adalah memperbaiki yang lahir dan batinnya dengan takwa) serta
membekali dirinya terlebih dahulu dengan sikap takwa tersebut agar sang murid
bisa mencontoh amalnya, kemudian mengambil manfaat dari ucapannya”
Kalau seorang murid mengemukakan 1 hal dengan adanya
dalil, jangan guru katakan: “Eh... kamu tak dengar kata saya ya? Kamu mau
bantah hujjah saya ya?” Hujjah kita ini bukan wahyu, jangan merasa tersinggung
kalau orang lain bawa hadits / pandangan yang lain yang mungkin kita tak tahu.
Imam Malik ketika diminta Harun Ar Rasyid untuk menjadikan Kitab Imam Malik, Al
Muwatta sebagai kitab rujukan umat islam di seluruh kerajaan Abasiyah,
selain Kitab Muwatta tak boleh pakai. Imam Malik menolak dengan mengatakan:
“Jangan wahai Amirul Mukminin, sahabat rasulullah ketika ditinggalkan
rasulullah berpencar kemana-mana, sayamungkin belum mendapat hadits-hadits dari
sahabat yang berpencar itu, yang mungkin sya tak dengar, yang kalau kamu
wajibkan kitab saya ini ada disitu (sahabat yang berpencar) hadits-hadits yang
saya tak tahu yang kalau kamu tolak berarti kita menolak hadits rasulullah”
Jadi dalam hal ini bilamana ada orang memberi hujjah yang lain, jadikanla
hujjah itu sebagai ilmu baru, bilamana hujjah itu tak betul maka dia bisa
menjawab, kalau dia tak tahu maka hujjah itu bisa menjadi ilmu baru untuk
ditambahkan pada dirinya. Inilah sifat orang yang alim, senantiasa dirinya
merasa berkekurangan ilmunya
0 Response to "Adab Seorang Guru / Syeikh"
Post a Comment