Sifat Wara' dan Kisah Shalihin
587. Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi s.a.w.
menemukan sebiji buah kurma di jalanan, lalu beliau s.a.w. bersabda: "Andaikata
saya tidak takut bahwa kurma ini termasuk golongan benda sedekah, pastilah saya
akan memakannya." Suatu tanda sangat berhati-hatinya beliau s.a.w.
dalam hal yang syubhat. (Muttafaq 'alaih)
Hadits ini menunjukkan bahwasanya Nabi
Muhammad SAW memiliki sifat wara’. Apa itu wara’? Pertama,
meninggalkan perkara yang boleh karena khawatir tergelincir perkara yang tidak
boleh. Kedua, meninggalkan perkara yang syubhat / tidak jelas boleh
tidaknya. Agama seseorang yang baik bilamana memiliki sifat wara’.
Seorang bernama Al Imam Abu Ishaq, penulis
kitab At Tambih. Beliau suatu hari duduk-duduk di masjid dengan beberapa orang,
kemudian tanpa sadar duitnya jatuh dari sakunya. Setelah semua urusan selesai
beliau pergi pulang. Samapi diperjalanan beliau masukkan tangan ke sakunya itu,
dia dapati duitnya tak ada. Kemudian beliau balik ke masjid karena beliau fikir
duitnya jatuh saat duduk di masjid tadi. Sampai di masjid di tempat beliau
duduk tadi, beliau lihat ada duit, jumlahnya juga sama seperti miliknya. Ketika
hendak diambil beliau berfikir “Ah... iya kalau ini duit aku, kalau setelah aku
pergi tadi ada orang yang duduk juga disini, lalu duitnya jatuh, kalau duit ini
aku ambil aku sama dengan ambil duit milik orang” Beliau tidak jadi ambil duit
itu, padahal itu benar duitnya tapi beliau tinggalkan. Kenapa beliau berbuat
demikian? wara’, khawatir bukan duitnya. Coba kalau kita? Jumpa duit di tempat
lain pun “Aku tadi duduk sini juga”
Ayah Al Imam Abu Hanifah, bernama Tsabit.
Suatu hari dalam keadaan lapar dia berjalan di tepian sungai, dia nampak ada
apel yang mengalir bersama dengan arus sungai. Maka dia ambil dan dia makan.
Setelah makan baru dia sadar “Eh...apel ini punya siapa, bagaimana bisa aku
makan apel milik orang lain, bukan dengan harta aku membelinya” Akhirnya beliau
ikuti arus sungai itu untuk mengetahui dari mana asal apel itu jatuh. Kemudian
dia melihat ada kebun apel yang dekat dengan sungai tersebut. Dia datangi kebun
itu dan berjumpa dengan pemilik kebun itu. Tsabit meminta kepada penjaga kebun
itu supaya menghalalkan / akan dibeli apel yang telah ia makan tadi, kata
penjaga kebun: “Aku disini jaga saja, tuan ampunya kebun ini rumahnya disana,
perjalanannya dari sini 1 hari 1 malam” Tsabitpun pergi juga ke rumah pemilik
kebun itu. Subhanallah, demi minta halal 1 apel saja rela 1 hari 1 malam. Zaman
kita sekarang beribu-ribu ringgit bleeep... tak minta maaf pun. Setelah jumpa
dengan pemilik kebun, pemilik kebunnya orang yang wara’ juga. Dia berfikir “Ini
orang (Tsabit) kalau bukan orang yang wara’ maka tak mungkin dia habiskan masa
nya untuk 1 hari 1 malam jumpa denganku untuk minta maaf karna 1 apel saja”
Kemudian pemilik kebun berkata pada Tsabit: “Aku tak akan memaafkan kamu,
kecuali dengan kamu berkawin dengan anak aku” Tsabit menjawab: “Baiklah”.
Kemudian pemilik kebun ini berkata: “Tapi anak aku ini buta, tuli, bisu, cacat”
Lalu Tsabit berfikir “Kalau memang ini jalan satu-satunya untuk mendapatkan
halal atas apel yang aku makan tadi, yang bilamana tidak halal maka aku akan
berhadapan dengan allah, maka aku akan kawin dengan anak perempuanya yang cacat
itu, aku akan melayani dia untuk aku mendapat pahala di sisi allah”
Akhirnya dilangsungkan ijab qobul tanpa
melihat anak perempuan pemilik kebun itu. Setelah itu Tsabit masuk ke kamar /
bilik, secara spontan beliau ucapkan salam walaupun dia ingat bahwa istrinya
ini tuli dan bisu. Tiba-tiba terdengar jawaban salam dari istrinya yang
kemudian menggapai tangan Tsabit untukl diciumnya. Tsabit pun tertanya tanya
“Bukankah kata bapaknya dia ini tuli dan bisu? kalau bisu kenapa dia bisa
dengar dan jawab salam aku? kata bapaknya dia buta, tapi kenapa dia bisa
menghampiri aku dan mencium tanganku?” Setelah diceritakan percakapannya dengan
bapaknya, Perempuan ini berkata: “Benar kata bapakku, aku ini buta karena
mataku tak pernah melihat yang haram, aku bisu karna mulutku tak pernah bicara
yang haram, aku disebut tuli karna telingaku tak pernah ku gunakan mendengar
yang haram, aku di sebut cacat karna aku tak pernah menggunakan kaki dan
tanganku untuk perkara yang haram” Semoga kita dianugrahi sifat yang wara’
588. Dari an-Nawwas bin Sam'an r.a. dari
Nabi s.a.w., sabdanya: "Kebajikan ialah baiknya budi pekerti dan dosa
ialah apa-apa yang engkau rasakan bimbang dalam jiwamu dan engkau tidak suka
kalau hal itu diketahui oleh orang banyak." (Riwayat Muslim)
589. Dari Wabishah bin Ma'bad r.a.,
katanya: "Saya mendatangi Rasulullah s.a.w., lalu beliau bersabda:
"Engkau datang ini hendak menanyakan perihal kebajikan?" Saya
menjawab: "Ya." Beliau s.a.w. lalu bersabda lagi: "Mintalah
fatwa - keterangan atau pertimbangan – pada hatimu sendiri. Kebajikan itu ialah
yang jiwa itu menjadi tenang padanya - di waktu melakukan dan setelah
selesainya, juga yang hatipun tenang pula merasakannya,sedang dosa ialah
apa-apa yang engkau rasakan bimbang dalam jiwa serta bolak-balik -yakni
ragu-ragu dalam dada - hati, sekalipun orang banyak telah memberikan fatwanya
padamu; yah, sekalipun orang banyak telah memberikan fatwanya padamu."
Hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam-imam Ahmad dan ad-Darimi dalam kedua
musnadnya.
Hadits ini menunjukkan bahwa “Al birr
Khusnul Khuluq” kebajikan itu adalah akhlak yang baik, adapun dosa apa yang
menjadi keragu-raguan dalam hati antara buat / tak buta. Apa tandanya? Kalau
dia ingin berbuat dan malu ketika dilihat orang lain ini adalah benih dari
dosa. Orang kalau berbuat baik kebanyakannya ingin orang lain tahu, tapi kalau
orang berbuat tak baik kebanyakanya dia ingin orang lain tak tahu. Contohnya,
Anak-anak remaja yang suka lihat web–web yang tak betul itu, adakah dia ingin
lihat di kedai internet? Tak mau lah, karena orang lain bisa melihat. Tapi
kalau di rumah tak ada yang tahu
591. Dari al-Hasan bin Ali radhiallahu
'anhuma, katanya: "Saya hafal sesuatu sabda dari Rasulullah s.a.w.:
"Tinggalkanlah apa-apa yang meragu-ragukan padamu untuk beralih kepada
apa-apa yang tidak meragu-ragukan padamu."
Maksud dari ragu-ragu dari hadits diatas
adalah tentang hukum halal dan haram / syubhat, bukan soal “Aku nak makan roti
ini / itu ya? bukan... tapi soal halal dan haram. Ini adalah pegangan yang
harus kita punyai. Hal-hal yang syubhat di tempat kita kerja, tinggalkan itu.
593. Dari Nafi' bahwasanya Umar r.a.
menentukan untuk kaum muhajirin yang pertama-tama sebanyak empat ribu - dirham
setahun, ia juga menetapkan untuk anaknya sendiri - yang juga termasuk kaum
muhajirin yang pertama-tama - sebanyak tigaribu limaratus. Ia ditanya; "Ia
adalah termasuk kaum muhajirin, mengapa engkau kurangi pemberiannya?" Umar
berkata: "Hanyasanya kedua orang tuanyalah yang berhijrah dengan
membawanya serta." Umar menyambung ucapannya lagi, yaitu: "Jadi ia
tidaklah dapat disamakan seperti orang yang berhijrah dengan dirinya sendiri."
(Riwayat Bukhari)
Subhanallah, bijaksananya Umar bin
Khattab. Anak beliau (Abdullah bin Umar) memang ikut hijrah akan tetapi
hijrahnya dibawa oleh ibu bapaknya (Umar bin Khattab), oleh karena itu beliau
mengurangi harta bagian untuk anaknya sebab anaknya tidak hijrah sendiri. Umur
Abdullah bin Umar saat itu 12 tahun. Sayyidina Umar adil dan tidak pilih kasih
walaupun dia anaknya
(Habib Ali Zaenal
Abidin Al Hamid – Darul Murtadza)
0 Response to "Sifat Wara' dan Kisah Shalihin"
Post a Comment